Editor : Drs. Muhammad Thalib & Irfan S. Awwas
Terbit : Agustus 1999
Bahasa : Indonesia
Genre : Politik & Sosial Budaya
Format File : PDF
Review : Pada millenium 2000, sejarah dunia tengah memasuki pintu gerbang abad 21. Pada saat itu, lebih dari setengah abad, Indonesia telah menampakkan jati dirinya di atas panggung sejarah dunia dengan berdiri tegak di atas sistem Pancasila, dan bernaung di bawah sayap burung garuda. Sepanjang kurun waktu tersebut, Indonesia telah mengalami tiga periode pemerintahan dan dua kali pergantian UUD.
Pertama, Indonesia di bawah pemerintahan rezim Soekarno, yang dikenal dengan orde lama. Pada masa itu, diberlakukan UUD 1945, UUDS 1950, dan akhirnya kembali lagi ke UUD 1945. Periode kedua, masa berkuasanya orde baru di bawah sistem militerisme pimpinan Jenderal Soeharto, dan periode ketiga, adalah masa-masa transisi, yang disebut orde reformasi dengan presidennya, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Dalam rentang waktu setengah abad lebih Indonesia merdeka, dominasi nasionalis sekuler dalam percaturan politik nasional, bagaimanapun juga telah menjadi penyebab semakin terpinggirkannya peran agama dalam pengelolaan negara.
Jargon-jargon politik yang sengaja dilansir oleh para politisi sekuler menunjukkan hal itu. Di dalam kerangka ideologi yang diletakkan kaum sekuler, tuduhan bahwa agama merupakan penyebab pokok instabilitas konstitusional, atau menganggap isu agama sebagai sektarian, primordial dan sebagainya, menjadi isu yang semakin hari makin melemahkan posisi agama dan kaum agamawan berhadapan dengan lembaga negara. Lalu mereka sampai kepada kesimpulan, supaya jangan membawa-bawa agama dalam urusan politik (4).
Nyata bahwa semuanya ini merupakan skenario yang sudah dipersiapkan. Maka menjadi pemandangan yang wajar, keikut-sertaan kalangan politisi dalam masalah keagamaan ditolerir, tapi bagi kalangan agamawan yang ikut-ikut terlibat dalam urusan politik dicemooh. Dalam kerangka ini pula, menjadi tidak aneh ketika baru-baru ini kita mendengar adanya sekelompok organisasi pemuda Islam (PMII) di Surabaya, melakukan demonstrasi menuntut pembubaran MUI yang mereka nilai, ikut-ikutan dalam politik praktis.
Perdebatan-perdebatan ideologis di tingkat nasional, yang seringkali melibatkan petualang-petualang politik Islam, justru mengokohkan program sekularisme. Lontaran Amin Rais, pada tahun 80-an, yang mengatakan, “Tidak ada Negara Islam dalam al-Qur’an”, adalah contoh konkrit. Sebuah artikel berjudul “Negara Islam hanya Mimpi” memberitakan tentang pidato Menteri Agama Munawir Syazali.
Dalam kedudukannya sebagai menteri agama, Munawir Syazali berkata: ”Saya tidak melihat perbedaan antara Mitsaq Madinah —konstitusi pertama yang dibuat Nabi SAW— dengan UUD 1945. Kesimpulannya, negara kita ini sudah memenuhi syarat. Itu berarti, umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai bentuk final dari perjuangan aspirasi umat” (10). Senada dengan pernyataan di atas, adalah fatwa mantan Rais ‘Am PBNU, KH. Ahmad Siddiq: “Hendaknya umat Islam di Indonesia menerima negara Pancasila sebagai bentuk final dari perjuangan (1) Majalah Editor, 25 Februari 1989 5 aspirasi politik umat. Jangan negara Pancasila ini hanya dijadikan sasaran menuju sasaran yang lain,” katanya.
Buntut logis dari pernyataan di atas, munculnya klaim bahwa, Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, seperti yang dinyatakan Soeharto pada peringatan Maulid Nabi di Istana negara, 24 November 1985. Jelas bahwa di Indonesia, sikap penguasa terhadap fenomena agama bersifat ambivalen. Di satu segi, agama dipandang sebagai tiang pokok untuk menciptakan manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi di segi lainnya, tak satu agama pun yang dianggap istimewa.
Oleh karena itu, Indonesia tidak memiliki agama resmi negara, sekalipun penganut Islam menempati posisi mayoritas di negeri ini. Maka cukup mencengangkan ucapan Katib ‘Am PBNU, Said Agil Siradj ketika merespons adanya keinginan dari partai-partai Islam membentuk fraksi Islam di DPR hasil pemilu 1999. Ia mengatakan: ”Bahwa pembentukan fraksi Islam adalah pengkhianatan pada komitmen membangun negara kebangsaan” (2).
Kombinasi dari semua ini, pada gilirannya, menandai awal pencemaran ideologis yang, secara langsung, ikut mempromosikan doktrin Zionisme atau paham Freemasonry. Prinsip dasar gerakan Freemasonry adalah, pertama, mengambangkan keyakinan umat beragama, sehingga mereka menganggap semua agama itu sama, semua agama itu baik.
Kedua, mendorong toleransi antar pemeluk agama, misalnya mengadakan natal bersama, saling mengirimi kartu ucapan selamat hari besar agama dan lain-lainnya (2). Selanjutnya, Liputan 6 SCTV, 15 Juli 1999 dan Sabili N0.4/VII, 11 Agustus 1999, hidup rukun dan bekerjasama antara umat beragama (6). Wujud konkrit-nya, bisa dalam bentuk do’a bersama, bergantian membaca do’a di satu tempat, menurut keyakinan agamanya masing-masing.
Perlunya sering-sering mengadakan diskusi antar tokoh agama untuk menemukan persamaan dan meminimalkan perbedaan. Sikap ambivalen dan hipokrit yang akan tercipta dari suasana seperti ini, adalah harapan yang diidam-idamkan kaum Zionis dan Freemasonry. Kecurigaan ini bukannya tanpa hujjah.
Dr. Ali Gharishah, ketua Islamic Center di Jerman Barat, tokoh ikhwanul Muslimin yang termasuk black list CIA, membongkar sebuah dokumen rahasia, yang kemudian dicantumkan dalam bukunya: "Du’atun La Bughatun, dialih bahasakan menjadi “Da’i Bukan Teroris”.
Dokumen dimaksud ditulis pada masa rezim Anwar Sadat masih berkuasa, oleh Richard B. Michel, anggota intelijen Amerika (CIA). Isi dokumen tersebut adalah, usulan strategi menghadapi tokoh-ptokoh Islam yang masih aktif dalam perjuangan Islam, antara lain:
1. Mencurahkan pikiran mereka, tokoh-tokoh Islam itu, untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang non-Islam, kemudian merusak usaha tersebut melalui yayasan mereka.
2. Menghabiskan waktu mereka dalam pekerjaan mencetak dan menerbitkan buku-buku Ke-Islaman, kemudian berusaha menjatuhkan hasil pekerjaan mereka itu.
3. Menyebarkan rasa kecurigaan di antara para pemimpin Islam, sehingga mereka tidak sempat melaksanakan program mereka (7)
Bukan itu saja. Mereka juga mengarahkan tipu daya-makarnya kepada generasi muda kaum muslimin dengan cara sebagai berikut:
1. Mengupayakan supaya pemuda-pemuda Islam terjerumus ke dalam upacara-upacara peribadatan. Sehingga, terlepas dari missi perjuangan Islam yang hakiki.
2. Menumbuhkan kesangsian terhadap sunnah Muhammad Shallahu alaihi was sallam serta sumber-sumber ajaran Islam lainnya.
3. Memecah belah organisasi dan jama’ah Islamiyah, dengan menanamkan benih perselisihan di dalam maupun di luar organisasi itu.
4. Menghadapi aktivitas generasi muda Islam, khususnya kaum wanita yang berpegang teguh mengenakan busana muslimah, harus di hadapi melalui saluran informasi dan kultural secara timbal balik.
Demikianlah strategi menghancurkan Islam, yang diusulkan Richard B. Michel kepada kepala dinas rahasia (CIA) di pusat intelijen Amerika. Benar-benar suatu usulan syetani yang diungkapkan dengan nada benci dan melecehkan. Mereka sengaja menina-bobokkan kita dengan usaha-usaha dakwah, penerbitan dan lain-lain, kemudian berusaha merusak usaha tersebut melalui yayasan pemberi bantuan atau melalui tangan-tangan penguasa. Seakan hanya dengan sekali ayunan tangan mereka dapat menghancurkan kita, dan dengan satu gerakan saja dapat meluluh lantakkan usaha-usaha kaum muslimin (8).
Sungguh hal ini merupakan sentakan kasar yang mengagetkan syaraf-syaraf kita. Apabila orang-orang kafir melakukan makar, baik dengan kata maupun perbuatan, kita tidak perlu panik.
Akan tetapi, jika orang-orang Islam sendiri melakukan hal yang sama, dan secara sadar atau tidak, program-program Zionis itu keluar dari mulut tokoh-tokoh Islam, ulama maupun cende-kiawan muslim, sungguh hal ini tidak dapat dimaafkan.
Sebab setiap orang yang menyibukkan kaum muslimin dengan sesuatu yang tidak dalam rangka menegakkan Islam, pasti ia seorang munafiq yang bersekongkol dengan musuh Islam.
Seberapa besar pengaruh pola pemikiran Zionis atau Freemasonry terhadap penerapan Pancasila di Indonesia, buku ini akan memaparkannya secara jelas dan lengkap. Namun sebelum itu, akan sangat bermanfaat apabila dalam pengantar ini, kita ilustrasikan
bagaimana penerapan ideologi Pancasila selama dua periode pemerintahan di Indonesia. Di zaman Orla, atas nama Pancasila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Kekuasaan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demokrasi Terpimpin, yang kemudian ternyata melahirkan prinsip-prinsip yang mereduksi Islam, dan pada saat yang sama mendukung komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai aplikasi idiologi Pancasila (9).
Selama 20 tahun rezim Soekarno berkuasa, Indonesia menjadi lahan yang subur bagi golongan-golongan anti Islam; seperti Zionisme, Freemasonry, Salibisme, Komunisme, paganisme, sekularisme serta kelompok "Yes Man" (3).
Sebaliknya, bagi orang-orang yang bersikap kritis, taat beragama, dan bercita-cita membangun masyarakat berdasarkan agama, Indonesia ketika itu bagaikan neraka. Mereka yang dipandang tidak loyal pada pemerintah, dituduh kontra revolusi dan menjadi
mangsa penjara. Sebagai akibatnya, kezaliman politik, keruntuhan akhlak, kebencian antar warga masyarakat, serta kebiadaban kelompok yang kuat dalam menindas yang lemah menjadi trade merk pemerintah Orde Lama.
Dan akibat selanjutnya, sepanjang kurun waktu orde lama, tidak pernah sepi dari perlawanan rakyat kepada pemerintah, dan pemberontakan daerah terhadap penguasa pusat (4). Penerapan ideologi Pancasila dari masa ke masa, dan pada setiap periode pemerintahan yang berbeda-beda, selalu menimbulkan korban yang tidak kecil. Pembunuhan demokrasi, pemerkosaan hak asasi manusia, adalah di antara ekses-ekses negatif penerapan Pancasila oleh penguasa.
Di negara Pancasila, seseorang bisa dipenjara bertahun-tahun lamanya tanpa proses pengadilan dengan tuduhan menentang Pancasila atau merongrong wibawa pemerintah yang sah. Dan bila penguasa menghendaki, atas nama Pancasila, seseorang bisa dijebloskan ke dalam penjara, tanpa dasar yang jelas.(3)
Perbenturan ideologi, pertikaian para penganut agama dan kaum anti agama menjelang Gestapo (G 30 S PKI), dan hiruk pikuk Lekra/PKI dan kawan-kawannya. Kemudian keberpihakan penguasa kepada kaum penyembah Lenin itu, serta kezalimannya terhadap kaum muslimin.
Semua ini dapat dibaca dalam buku: “Prahara Budaya”, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Tulisan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, diterbitkan oleh penerbit MIZAN Bandung, Maret 1995. 4 Baca buku: Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi, kumpulan tulisan K.H. Firdaus A.N., CV. Pedoman Inti Jaya, 1993. (10).
Kehilangan hak-hak sipil maupun politiknya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Dalam hal ini, termasuk dosa politik rezim Soekarno terhadap rakyat Indonesia adalah dicoret-nya tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, lalu menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuh kalimat yang dicoret secara sepihak itu, pada mulanya dinilai sebagai perjanjian moral antara umat Islam dan non-Islam. Selain pencoretan itu, pengkhianatan pemimpin-pemimpin republik terhadap janjinya, telah menyulut api pemberontakan dan menyebabkan kepercayaan rakyat mulai luntur terhadap kredibilitas pemimpin pusat.
Di antara bentuk pengkhianatan rezim Orla terhadap janji yang diucapkan atas nama pemerintah Pancasila, dan hingga kini membawa akibat buruk bagi bangsa Indonesia, adalah kasus pemberontakan Darul Islam pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, tokoh ulama seluruh Aceh (PUSA) berserta para pengikutnya.
Pengkhianatan pemerintah Orde Lama itu, dengan jelas terlihat dalam dialog antara Tengku Daud Beureueh dan Presiden Soekarno.
Bagian terakhir dari dialog tersebut, selengkapnya adalah sebagai berikut (5): Presiden: “Saya minta bantuan kakak, agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan".
Daud Beureueh :” Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid” .
Presiden: ”Kakak! Memang yang saya maksud-kan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjhik di Tiro dan lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang ber-semboyan “merdeka atau syahid” .
Daud Beureueh : ”Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya”.
Presiden: ”Mengenai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam” .
Daud Beureueh: ”Maafkan saya Sudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami meng-inginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”
Presiden : ”Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.
Daud Beureueh : ”Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Sdr. Presiden menulis sedikit di atas kertas ini”.
Mendengar ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu langsung Presiden Soekarno menangis terisak-isak. Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak-isak Presiden Soekarno berkata: ”Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya” .
Langsung saja Tengku Daud Beureueh menjawab: ”Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan pada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang” .
Lantas Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya, berkata:”Wallahi, Billahi, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”
Dijawab oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh: ”Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden” .
Menurut keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu.
Karakteristik orang-orang munafik suka berjanji tapi kemudian mengingkarinya, dan menjadikan sumpah sebagai helah. Allah berfirman: Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Sungguh amat buruklah apa yang mereka lakukan. Allah berfirman :
"Yang demikian itu karena mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (kembali), lalu hati mereka dikunci (tertutup dari menerima kebenaran). Maka mereka tidak memahami. Dan apabila engkau melihat mereka, engkau akan kagum karena tubuh-tubuh mereka (yang tegap dan tampan). Dan apabila mereka berbicara, engkau akan terpaku mendengarkannya. Mereka bagaikan kayu yang tersandar (tidak mempunyai fikiran). Mereka menduka setiap suara keras (panggilan) ditujukan kepada mereka. Merekalah musuh (sejati), maka jauhilah mereka, (waspadalah terhadap mereka). Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dibutakan mata hatinya dari kebenaran)?. (Q.S. Al Munafiqun: 2-4).
Dari dialog di atas, kita bisa maklum bahwa, secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi dengan penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia me-lawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku syari’at Islam dalam bingkai negara Kesatuan RI.
Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ternyata ia ingkar dan tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. Melihat kenyataan ini, suatu hari, dengan suara masygul, Daud Beureueh pernah berkata:”Sudah ratusan tahun syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh.
Maka sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh.7 Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, presiden Turki keturunan Yahudi, yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasional Turki. Dia berkata: ”Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedang negara adalah milik
bersama”. (14)
Sekarang angin beracun ini masih berhembus kencang. Maka sebagaimana Kemal Attaturk, dalam suatu pidatonya di Amuntai Kalimantan Selatan pada tahun 1954, Soekarno juga pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik
Indonesia. Mengapa Soekarno ingkar janji terhadap rakyat Aceh, dan menolak berlakunya syari’at Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. ”Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang
memberi pelajaran kepada saya, jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia” , katanya.
Pengakuan ini diungkapkan di hadapan sidang BPUPKI. Selanjutnya, dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: ”Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang
memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh buku tersebut” .
Berdasarkan tela’ah dari berbagai karya tulis, pidato serta riwayat hidup Bung Karno, kita menjadi paham, bahwa prinsip ideologi yang dikem-bangkannya merupakan kombinasi
dari paham kebangsaan dan mulhid, yaitu Nasionalisme dan Komunisme. Kombinasi dari keduanya, kemudian melahirkan ajaran Bung Karno, yang terkenal dengan Marhaenisme, akronim dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Semua ini sangat berpengaruh terhadap aplikasi ideologi Pancasila selama masa kekuasaannya.
Setelah berkuasa lebih dari 20 tahun lamanya, kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh, dan riwayat hidupnya berakhir nista, terpuruk dari singgasana, dan mati dalam status dipenjara oleh rezim baru Soeharto. (bersambung)
Catatan Kaki :
(5) Wawancara dengan Tengku Daud Beureuh, dalam TGK. M. DAUD BEUREUH: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, oleh M. Nur Elibrahimy, hal. 65, PT. Gunung Agung, Jakarta, Cetakan Kedua, 1982. (11) kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945” .
(14) Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai 7 Rubrik Nasional, Mingguan ABADI, No. 37/Th.I, 22-28 Juli 1999. 14
Pertama, Indonesia di bawah pemerintahan rezim Soekarno, yang dikenal dengan orde lama. Pada masa itu, diberlakukan UUD 1945, UUDS 1950, dan akhirnya kembali lagi ke UUD 1945. Periode kedua, masa berkuasanya orde baru di bawah sistem militerisme pimpinan Jenderal Soeharto, dan periode ketiga, adalah masa-masa transisi, yang disebut orde reformasi dengan presidennya, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Dalam rentang waktu setengah abad lebih Indonesia merdeka, dominasi nasionalis sekuler dalam percaturan politik nasional, bagaimanapun juga telah menjadi penyebab semakin terpinggirkannya peran agama dalam pengelolaan negara.
Jargon-jargon politik yang sengaja dilansir oleh para politisi sekuler menunjukkan hal itu. Di dalam kerangka ideologi yang diletakkan kaum sekuler, tuduhan bahwa agama merupakan penyebab pokok instabilitas konstitusional, atau menganggap isu agama sebagai sektarian, primordial dan sebagainya, menjadi isu yang semakin hari makin melemahkan posisi agama dan kaum agamawan berhadapan dengan lembaga negara. Lalu mereka sampai kepada kesimpulan, supaya jangan membawa-bawa agama dalam urusan politik (4).
Nyata bahwa semuanya ini merupakan skenario yang sudah dipersiapkan. Maka menjadi pemandangan yang wajar, keikut-sertaan kalangan politisi dalam masalah keagamaan ditolerir, tapi bagi kalangan agamawan yang ikut-ikut terlibat dalam urusan politik dicemooh. Dalam kerangka ini pula, menjadi tidak aneh ketika baru-baru ini kita mendengar adanya sekelompok organisasi pemuda Islam (PMII) di Surabaya, melakukan demonstrasi menuntut pembubaran MUI yang mereka nilai, ikut-ikutan dalam politik praktis.
Perdebatan-perdebatan ideologis di tingkat nasional, yang seringkali melibatkan petualang-petualang politik Islam, justru mengokohkan program sekularisme. Lontaran Amin Rais, pada tahun 80-an, yang mengatakan, “Tidak ada Negara Islam dalam al-Qur’an”, adalah contoh konkrit. Sebuah artikel berjudul “Negara Islam hanya Mimpi” memberitakan tentang pidato Menteri Agama Munawir Syazali.
Dalam kedudukannya sebagai menteri agama, Munawir Syazali berkata: ”Saya tidak melihat perbedaan antara Mitsaq Madinah —konstitusi pertama yang dibuat Nabi SAW— dengan UUD 1945. Kesimpulannya, negara kita ini sudah memenuhi syarat. Itu berarti, umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai bentuk final dari perjuangan aspirasi umat” (10). Senada dengan pernyataan di atas, adalah fatwa mantan Rais ‘Am PBNU, KH. Ahmad Siddiq: “Hendaknya umat Islam di Indonesia menerima negara Pancasila sebagai bentuk final dari perjuangan (1) Majalah Editor, 25 Februari 1989 5 aspirasi politik umat. Jangan negara Pancasila ini hanya dijadikan sasaran menuju sasaran yang lain,” katanya.
Buntut logis dari pernyataan di atas, munculnya klaim bahwa, Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, seperti yang dinyatakan Soeharto pada peringatan Maulid Nabi di Istana negara, 24 November 1985. Jelas bahwa di Indonesia, sikap penguasa terhadap fenomena agama bersifat ambivalen. Di satu segi, agama dipandang sebagai tiang pokok untuk menciptakan manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi di segi lainnya, tak satu agama pun yang dianggap istimewa.
Oleh karena itu, Indonesia tidak memiliki agama resmi negara, sekalipun penganut Islam menempati posisi mayoritas di negeri ini. Maka cukup mencengangkan ucapan Katib ‘Am PBNU, Said Agil Siradj ketika merespons adanya keinginan dari partai-partai Islam membentuk fraksi Islam di DPR hasil pemilu 1999. Ia mengatakan: ”Bahwa pembentukan fraksi Islam adalah pengkhianatan pada komitmen membangun negara kebangsaan” (2).
Kombinasi dari semua ini, pada gilirannya, menandai awal pencemaran ideologis yang, secara langsung, ikut mempromosikan doktrin Zionisme atau paham Freemasonry. Prinsip dasar gerakan Freemasonry adalah, pertama, mengambangkan keyakinan umat beragama, sehingga mereka menganggap semua agama itu sama, semua agama itu baik.
Kedua, mendorong toleransi antar pemeluk agama, misalnya mengadakan natal bersama, saling mengirimi kartu ucapan selamat hari besar agama dan lain-lainnya (2). Selanjutnya, Liputan 6 SCTV, 15 Juli 1999 dan Sabili N0.4/VII, 11 Agustus 1999, hidup rukun dan bekerjasama antara umat beragama (6). Wujud konkrit-nya, bisa dalam bentuk do’a bersama, bergantian membaca do’a di satu tempat, menurut keyakinan agamanya masing-masing.
Perlunya sering-sering mengadakan diskusi antar tokoh agama untuk menemukan persamaan dan meminimalkan perbedaan. Sikap ambivalen dan hipokrit yang akan tercipta dari suasana seperti ini, adalah harapan yang diidam-idamkan kaum Zionis dan Freemasonry. Kecurigaan ini bukannya tanpa hujjah.
Dr. Ali Gharishah, ketua Islamic Center di Jerman Barat, tokoh ikhwanul Muslimin yang termasuk black list CIA, membongkar sebuah dokumen rahasia, yang kemudian dicantumkan dalam bukunya: "Du’atun La Bughatun, dialih bahasakan menjadi “Da’i Bukan Teroris”.
Dokumen dimaksud ditulis pada masa rezim Anwar Sadat masih berkuasa, oleh Richard B. Michel, anggota intelijen Amerika (CIA). Isi dokumen tersebut adalah, usulan strategi menghadapi tokoh-ptokoh Islam yang masih aktif dalam perjuangan Islam, antara lain:
1. Mencurahkan pikiran mereka, tokoh-tokoh Islam itu, untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang non-Islam, kemudian merusak usaha tersebut melalui yayasan mereka.
2. Menghabiskan waktu mereka dalam pekerjaan mencetak dan menerbitkan buku-buku Ke-Islaman, kemudian berusaha menjatuhkan hasil pekerjaan mereka itu.
3. Menyebarkan rasa kecurigaan di antara para pemimpin Islam, sehingga mereka tidak sempat melaksanakan program mereka (7)
Bukan itu saja. Mereka juga mengarahkan tipu daya-makarnya kepada generasi muda kaum muslimin dengan cara sebagai berikut:
1. Mengupayakan supaya pemuda-pemuda Islam terjerumus ke dalam upacara-upacara peribadatan. Sehingga, terlepas dari missi perjuangan Islam yang hakiki.
2. Menumbuhkan kesangsian terhadap sunnah Muhammad Shallahu alaihi was sallam serta sumber-sumber ajaran Islam lainnya.
3. Memecah belah organisasi dan jama’ah Islamiyah, dengan menanamkan benih perselisihan di dalam maupun di luar organisasi itu.
4. Menghadapi aktivitas generasi muda Islam, khususnya kaum wanita yang berpegang teguh mengenakan busana muslimah, harus di hadapi melalui saluran informasi dan kultural secara timbal balik.
Demikianlah strategi menghancurkan Islam, yang diusulkan Richard B. Michel kepada kepala dinas rahasia (CIA) di pusat intelijen Amerika. Benar-benar suatu usulan syetani yang diungkapkan dengan nada benci dan melecehkan. Mereka sengaja menina-bobokkan kita dengan usaha-usaha dakwah, penerbitan dan lain-lain, kemudian berusaha merusak usaha tersebut melalui yayasan pemberi bantuan atau melalui tangan-tangan penguasa. Seakan hanya dengan sekali ayunan tangan mereka dapat menghancurkan kita, dan dengan satu gerakan saja dapat meluluh lantakkan usaha-usaha kaum muslimin (8).
Sungguh hal ini merupakan sentakan kasar yang mengagetkan syaraf-syaraf kita. Apabila orang-orang kafir melakukan makar, baik dengan kata maupun perbuatan, kita tidak perlu panik.
Akan tetapi, jika orang-orang Islam sendiri melakukan hal yang sama, dan secara sadar atau tidak, program-program Zionis itu keluar dari mulut tokoh-tokoh Islam, ulama maupun cende-kiawan muslim, sungguh hal ini tidak dapat dimaafkan.
Sebab setiap orang yang menyibukkan kaum muslimin dengan sesuatu yang tidak dalam rangka menegakkan Islam, pasti ia seorang munafiq yang bersekongkol dengan musuh Islam.
Seberapa besar pengaruh pola pemikiran Zionis atau Freemasonry terhadap penerapan Pancasila di Indonesia, buku ini akan memaparkannya secara jelas dan lengkap. Namun sebelum itu, akan sangat bermanfaat apabila dalam pengantar ini, kita ilustrasikan
bagaimana penerapan ideologi Pancasila selama dua periode pemerintahan di Indonesia. Di zaman Orla, atas nama Pancasila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Kekuasaan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demokrasi Terpimpin, yang kemudian ternyata melahirkan prinsip-prinsip yang mereduksi Islam, dan pada saat yang sama mendukung komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai aplikasi idiologi Pancasila (9).
Selama 20 tahun rezim Soekarno berkuasa, Indonesia menjadi lahan yang subur bagi golongan-golongan anti Islam; seperti Zionisme, Freemasonry, Salibisme, Komunisme, paganisme, sekularisme serta kelompok "Yes Man" (3).
Sebaliknya, bagi orang-orang yang bersikap kritis, taat beragama, dan bercita-cita membangun masyarakat berdasarkan agama, Indonesia ketika itu bagaikan neraka. Mereka yang dipandang tidak loyal pada pemerintah, dituduh kontra revolusi dan menjadi
mangsa penjara. Sebagai akibatnya, kezaliman politik, keruntuhan akhlak, kebencian antar warga masyarakat, serta kebiadaban kelompok yang kuat dalam menindas yang lemah menjadi trade merk pemerintah Orde Lama.
Dan akibat selanjutnya, sepanjang kurun waktu orde lama, tidak pernah sepi dari perlawanan rakyat kepada pemerintah, dan pemberontakan daerah terhadap penguasa pusat (4). Penerapan ideologi Pancasila dari masa ke masa, dan pada setiap periode pemerintahan yang berbeda-beda, selalu menimbulkan korban yang tidak kecil. Pembunuhan demokrasi, pemerkosaan hak asasi manusia, adalah di antara ekses-ekses negatif penerapan Pancasila oleh penguasa.
Di negara Pancasila, seseorang bisa dipenjara bertahun-tahun lamanya tanpa proses pengadilan dengan tuduhan menentang Pancasila atau merongrong wibawa pemerintah yang sah. Dan bila penguasa menghendaki, atas nama Pancasila, seseorang bisa dijebloskan ke dalam penjara, tanpa dasar yang jelas.(3)
Perbenturan ideologi, pertikaian para penganut agama dan kaum anti agama menjelang Gestapo (G 30 S PKI), dan hiruk pikuk Lekra/PKI dan kawan-kawannya. Kemudian keberpihakan penguasa kepada kaum penyembah Lenin itu, serta kezalimannya terhadap kaum muslimin.
Semua ini dapat dibaca dalam buku: “Prahara Budaya”, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Tulisan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, diterbitkan oleh penerbit MIZAN Bandung, Maret 1995. 4 Baca buku: Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi, kumpulan tulisan K.H. Firdaus A.N., CV. Pedoman Inti Jaya, 1993. (10).
Kehilangan hak-hak sipil maupun politiknya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Dalam hal ini, termasuk dosa politik rezim Soekarno terhadap rakyat Indonesia adalah dicoret-nya tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, lalu menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuh kalimat yang dicoret secara sepihak itu, pada mulanya dinilai sebagai perjanjian moral antara umat Islam dan non-Islam. Selain pencoretan itu, pengkhianatan pemimpin-pemimpin republik terhadap janjinya, telah menyulut api pemberontakan dan menyebabkan kepercayaan rakyat mulai luntur terhadap kredibilitas pemimpin pusat.
Di antara bentuk pengkhianatan rezim Orla terhadap janji yang diucapkan atas nama pemerintah Pancasila, dan hingga kini membawa akibat buruk bagi bangsa Indonesia, adalah kasus pemberontakan Darul Islam pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, tokoh ulama seluruh Aceh (PUSA) berserta para pengikutnya.
Pengkhianatan pemerintah Orde Lama itu, dengan jelas terlihat dalam dialog antara Tengku Daud Beureueh dan Presiden Soekarno.
Bagian terakhir dari dialog tersebut, selengkapnya adalah sebagai berikut (5): Presiden: “Saya minta bantuan kakak, agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan".
Daud Beureueh :” Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid” .
Presiden: ”Kakak! Memang yang saya maksud-kan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjhik di Tiro dan lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang ber-semboyan “merdeka atau syahid” .
Daud Beureueh : ”Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya”.
Presiden: ”Mengenai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam” .
Daud Beureueh: ”Maafkan saya Sudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami meng-inginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”
Presiden : ”Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.
Daud Beureueh : ”Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Sdr. Presiden menulis sedikit di atas kertas ini”.
Mendengar ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu langsung Presiden Soekarno menangis terisak-isak. Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak-isak Presiden Soekarno berkata: ”Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya” .
Langsung saja Tengku Daud Beureueh menjawab: ”Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan pada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang” .
Lantas Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya, berkata:”Wallahi, Billahi, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”
Dijawab oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh: ”Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden” .
Menurut keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu.
Karakteristik orang-orang munafik suka berjanji tapi kemudian mengingkarinya, dan menjadikan sumpah sebagai helah. Allah berfirman: Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Sungguh amat buruklah apa yang mereka lakukan. Allah berfirman :
"Yang demikian itu karena mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (kembali), lalu hati mereka dikunci (tertutup dari menerima kebenaran). Maka mereka tidak memahami. Dan apabila engkau melihat mereka, engkau akan kagum karena tubuh-tubuh mereka (yang tegap dan tampan). Dan apabila mereka berbicara, engkau akan terpaku mendengarkannya. Mereka bagaikan kayu yang tersandar (tidak mempunyai fikiran). Mereka menduka setiap suara keras (panggilan) ditujukan kepada mereka. Merekalah musuh (sejati), maka jauhilah mereka, (waspadalah terhadap mereka). Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dibutakan mata hatinya dari kebenaran)?. (Q.S. Al Munafiqun: 2-4).
Dari dialog di atas, kita bisa maklum bahwa, secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi dengan penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia me-lawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku syari’at Islam dalam bingkai negara Kesatuan RI.
Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ternyata ia ingkar dan tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. Melihat kenyataan ini, suatu hari, dengan suara masygul, Daud Beureueh pernah berkata:”Sudah ratusan tahun syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh.
Maka sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh.7 Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, presiden Turki keturunan Yahudi, yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasional Turki. Dia berkata: ”Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedang negara adalah milik
bersama”. (14)
Sekarang angin beracun ini masih berhembus kencang. Maka sebagaimana Kemal Attaturk, dalam suatu pidatonya di Amuntai Kalimantan Selatan pada tahun 1954, Soekarno juga pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik
Indonesia. Mengapa Soekarno ingkar janji terhadap rakyat Aceh, dan menolak berlakunya syari’at Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. ”Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang
memberi pelajaran kepada saya, jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia” , katanya.
Pengakuan ini diungkapkan di hadapan sidang BPUPKI. Selanjutnya, dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: ”Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang
memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh buku tersebut” .
Berdasarkan tela’ah dari berbagai karya tulis, pidato serta riwayat hidup Bung Karno, kita menjadi paham, bahwa prinsip ideologi yang dikem-bangkannya merupakan kombinasi
dari paham kebangsaan dan mulhid, yaitu Nasionalisme dan Komunisme. Kombinasi dari keduanya, kemudian melahirkan ajaran Bung Karno, yang terkenal dengan Marhaenisme, akronim dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Semua ini sangat berpengaruh terhadap aplikasi ideologi Pancasila selama masa kekuasaannya.
Setelah berkuasa lebih dari 20 tahun lamanya, kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh, dan riwayat hidupnya berakhir nista, terpuruk dari singgasana, dan mati dalam status dipenjara oleh rezim baru Soeharto. (bersambung)
Catatan Kaki :
(5) Wawancara dengan Tengku Daud Beureuh, dalam TGK. M. DAUD BEUREUH: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, oleh M. Nur Elibrahimy, hal. 65, PT. Gunung Agung, Jakarta, Cetakan Kedua, 1982. (11) kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945” .
(14) Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai 7 Rubrik Nasional, Mingguan ABADI, No. 37/Th.I, 22-28 Juli 1999. 14
DOKTRIN ZIONISME DAN IDEOLOGI PANCASILA : Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers Republik Indonesia [Download]
Posting Komentar
Terima kasih untuk kunjungan dan komentar sobat semua
Mohon komentar yang membangun untuk perbaikan blog ini
Apabila ada link yang rusak atau bermasalah dapat langsung diinfokan
Kami akan segera perbaiki.....